Sebuah batu besar duduk sendirian ditengah pasir hitam yang
berkilauan bermandikan cahaya redup sinar jingga. Angin semilir bergerak pelan
namun pasti dari arah utara menuju selatan. Ombak berhamburan, saling mengejar
dan tak tahu siapa pemenangnya.
Seorang pria muda sedang duduk asyik sendirian dibatu besar
itu sambil sibuk melukis langit senja yang ada dilangit barat. Dengan lihai,
luwes dan penuh keterampilan , tangan kirinya mulai menggoreskan warna-warna
indah di kanvas putih bersih itu. Namanya Wacik , pemuda pendiam yang hanya
punya satu lengan. Lengan kanannya lenyap dimakan oleh rakusnya virus penyakit
yang menyerangnya 3 tahun silam. Meski begitu, wajahnya masih terlihat kalem
dan teduh. Senyum ditiap sudut bibirnya menandakan bahwa dia adalah seorang
pemuda yang tegar.Lalu, Seorang gadis berparas cantik datang menghampirinya.
Gadis berambut hitam panjang yang selalu disanggul itu,selalu datang dan
menemani Wacik tiap kali ia sedang melukis.
“ kang Wacik” sapa gadis itu dengan senyum lebar dikedua
sudut bibirnya. Wacik menoleh sebentar kemudian membalas senyumnya dengan
senyum hangat miliknya.
“masih saja kemari, bukankah ayahmu sudah melarangmu dengan
keras?” tanya Wacik dengan santainya setelah menyadari bahwa gadis itu sudah berada
disampingnya sambil mengamati lukisan yang tengah dibuatnya.
“maafkan ayahku atas kejadian kemarin” ucapnya lirih tapi
tegas, ia merasa bersalah atas kelakuan yang telah ayahnya berbuat
“ minta maaf untuk apa?” timpal Wacik seolah tak mau
mengingat kejadian buruk yang kemarin terjadi ditempat itu.
Gadis itu merasa bersalah, tiba-tiba wajahnya murung, ia tak
mampu lagi memandang wajah pemuda disampingnya itu dengan kedua bola mata
indahnya.
“ kang, bisakah aku bertanya?” ucap gadis itu yang tiba-tiba
membuka bibirnya yang tadinya mengatup
rapat,berusaha mengalihkan pembicaraan
“ bicaralah “ suruh Wacik dengan santai
“ bagaimana jika ayahku tak lagi merestui hubungan kita?”
tanya gadis itu dengan ragu-ragu
Wacik tak mau menjawab, tangannya masih saja sibuk dengan permainan
warna yang sedari tadi sudah menemaninya.
“ aku akan menikah. Ayahku akan menjodohkanku dengan pria
lain, walaupun aku sangat mencintaimu tapi
kau tahu sendirikan watak ayahku bagaimana ?” tambahnya mempertegas
perkataannya
“ itu sebabnya kemarin beliau marah besar ?” tanya Wacik
dengan santai, meskipun perasaannya tiba-tiba mati rasa. Apalagi setelah
melihat anggukan dan sorotan kedua bola mata gadis pujaannya itu.
“ sudahlah, memang aku tak pantas untukmu “ ucap Wacik mencoba
legowo dengan keadaan yang memainkan perasaannya. Gadis itu tampak murung
mendengar pernyataan dari pujaan hatinya itu.
“ tapi jujur saja. Batinku menolak keras permintaan ayah
walaupun pada kenyataannya aku tak mampu menolak permintaannya, didalam hatiku
ini hanya ada nama dan wajahmu seorang, kang. Bagaimana bisa aku hidup tanpa
mendampingimu,kang?” ucap gadis itu mulai mengutarakan isi hati yang
sebenarnya.
“ lengan kananku telah dimakan penyakit. Aku hanya tak mau
belas kasihan dari siapapun. Meskipun dulu ayahmu telah membuat janji tentang
perjodohan kita, tapi beliau sendiri yang mengingkarinya. Bahkan beliau hendak
menikahkanmu dengan pria lain. Itu adalah keputusan ayahmu, aku dapat
memahaminya. Kau paham maksudku kan?”
ucap wacik santai sambil menyalakan rokok dengan satu tangannya.
“ apa kang Wajik setuju dengan keputusan ayah ?” ucap gadis
itu cemas
“ bukan begitu,meskipun kita telah melewati hari-hari bersama-sama,
dan juga pernah saling jatuh hati bahkan sampai sekarang. Bukan berarti
kita jodoh kan? Sekarang ayahmu akan
menikahkanmu dengan pria lain, mungkin saja dialah jodohmu. Justru akulah yang
harusnya tahu diri, menjadikanmu sebagai kekasih tanpa sebuah ikatan yang
direstui oleh orang tua adalah sebuah kesalahan. Tapi meskipun begitu
setidaknya aku senang bisa menjagamu dari orang-orang yang bukan muhrimmu
sampai sejauh ini, hingga akhirnya takdir mempertemukan kalian berdua. Kau tahu
? karena aku sudah menganggapmu seperti adik kandungku sendiri“ ucapnya
Wacik yang biasanya diam tanpa kata-kata , tiba-tiba menjadi
banyak bicara, tentu saja untuk menjelaskan mana yang baik dan mana yang tidak,
hal itu sudah menjadi wataknya sejak dulu. Ia bicara jika diperlukan dan diam jika tak ada
yang perlu dibicarakan
“ sikap bijak inilah
yang membuatku tergila-gila padamu,kang. Meskipun kau hanya pelukis senja yang
minim akan materi tapi hatimu kaya akan kelapangan dada dan keikhlasan, andai
saja... “ gadis itu tak sanggup lagi untuk melanjutkan ucapannya.
“ winda ayo pulang !”seru pria berumur sekitar 40 tahun yang
tiba-tiba datang dengan suara lantang nan tegas, seolah tak mengizinkan winda
anaknya dekat-dekat dengan pemuda buntung.
“maaf akang, aku harus segera pulang. Semoga lain kali kita
bisa bertemu lagi ditempat ini “ucapnya
. ia pun pergi meninggalkan wacik , berlalu tanpa bayangan samar yang tak lagi
bisa dilihat dari kejauhan.
Semenjak pembicaraan waktu itu. wacik tak pernah lagi
bertemu dengan winda, serasa yang kemarin itu adalah pertemuan terakhir mereka.
Sekarang ia harus melukis sendirian tanpa gadis manis yang selalu melihat
tangan kirinya dengan lihai menggoreskan warna dikanvas putih bersih.
Hingga suatu hari seorang anak kecil datang menghampirinya
sambil memberikan secarik kertas merah yang terlipat rapi dan berbungkus
plastik bening yang indah. ia membukanya berlahan agar isinya tak ikut robek.
Lalu membacanya didalam hati. Sebuah kertas undangan dari sang kekasih yang 3
hari lagi akan melangsungkan pernikahannya dengan pria pilihan orang tuanya.
Pria dengan bibit bobot yang sudah
jelas.
Dibalik kertas undangan itu ada tulisan tangan winda, sebuah
pesan untuk sang kekasih
“ untuk akang wacik yang tercinta, maafkan aku. Aku tak bisa
memberikan undangan ini langsung kepadamu, aku tahu meskipun kau hanya pelukis
senja, tapi aku tak pernah menganggapmu sebelah mata. Aku sudah bersabar
menunggumu tapi takdir berkata lain.Aku sudah mengenalmu lama, dan kau sangat baik kepadaku. kau itu layaknya
langit senja, pendiam, kalem tapi menyenangkan dan juga mendamaikan jiwa.
Semoga akang selalu sehat dan dalam ridhoNya. Sekian.. “
Pesan singkat itu membuat wacik mati rasa, walaupun bibirnya
tersenyum tapi sorot matanya kosong, seakan tak bisa membohongi keadaan
hatinya. Dia telah patah hati, tapi pikirannya tak mau mengakuinya. Dia lalu
diam tanpa kata-kata, matanya memandang kosong langit senja.
“ maafkan aku, aku hanya pelukis senja yang minim akan
materi aku tak cukup berani untuk bertemu dengan orang tuamu dan melamarmu agar
kita bisa hidup bersama-sama “ ucapnya pelan sambil berlalu meninggalkan
lukisannya ditengah pantai sendirian.
Tamat.