Senin, 29 Mei 2017

Pelukis Senja






Sebuah batu besar duduk sendirian ditengah pasir hitam yang berkilauan bermandikan cahaya redup sinar jingga. Angin semilir bergerak pelan namun pasti dari arah utara menuju selatan. Ombak berhamburan, saling mengejar dan tak tahu siapa pemenangnya.

Seorang pria muda sedang duduk asyik sendirian dibatu besar itu sambil sibuk melukis langit senja yang ada dilangit barat. Dengan lihai, luwes dan penuh keterampilan , tangan kirinya mulai menggoreskan warna-warna indah di kanvas putih bersih itu. Namanya Wacik , pemuda pendiam yang hanya punya satu lengan. Lengan kanannya lenyap dimakan oleh rakusnya virus penyakit yang menyerangnya 3 tahun silam. Meski begitu, wajahnya masih terlihat kalem dan teduh. Senyum ditiap sudut bibirnya menandakan bahwa dia adalah seorang pemuda yang tegar.Lalu, Seorang gadis berparas cantik datang menghampirinya. Gadis berambut hitam panjang yang selalu disanggul itu,selalu datang dan menemani Wacik tiap kali ia sedang melukis.

“ kang Wacik” sapa gadis itu dengan senyum lebar dikedua sudut bibirnya. Wacik menoleh sebentar kemudian membalas senyumnya dengan senyum hangat miliknya.

“masih saja kemari, bukankah ayahmu sudah melarangmu dengan keras?” tanya Wacik dengan santainya setelah menyadari bahwa gadis itu sudah berada disampingnya sambil mengamati lukisan yang tengah dibuatnya.

“maafkan ayahku atas kejadian kemarin” ucapnya lirih tapi tegas, ia merasa bersalah atas kelakuan yang telah ayahnya berbuat

“ minta maaf untuk apa?” timpal Wacik seolah tak mau mengingat kejadian buruk yang kemarin terjadi ditempat itu.

Gadis itu merasa bersalah, tiba-tiba wajahnya murung, ia tak mampu lagi memandang wajah pemuda disampingnya itu dengan kedua bola mata indahnya.

“ kang, bisakah aku bertanya?” ucap gadis itu yang tiba-tiba membuka bibirnya  yang tadinya mengatup rapat,berusaha mengalihkan pembicaraan

“ bicaralah “ suruh Wacik dengan santai

“ bagaimana jika ayahku tak lagi merestui hubungan kita?” tanya gadis itu dengan ragu-ragu

Wacik tak mau menjawab, tangannya masih saja sibuk dengan permainan warna yang sedari tadi sudah menemaninya.

“ aku akan menikah. Ayahku akan menjodohkanku dengan pria lain, walaupun aku sangat mencintaimu tapi  kau tahu sendirikan watak ayahku bagaimana ?” tambahnya mempertegas perkataannya

“ itu sebabnya kemarin beliau marah besar ?” tanya Wacik dengan santai, meskipun perasaannya tiba-tiba mati rasa. Apalagi setelah melihat anggukan dan sorotan kedua bola mata gadis pujaannya itu.

“ sudahlah, memang aku tak pantas untukmu “ ucap Wacik mencoba legowo dengan keadaan yang memainkan perasaannya. Gadis itu tampak murung mendengar pernyataan dari pujaan hatinya itu.

“ tapi jujur saja. Batinku menolak keras permintaan ayah walaupun pada kenyataannya aku tak mampu menolak permintaannya, didalam hatiku ini hanya ada nama dan wajahmu seorang, kang. Bagaimana bisa aku hidup tanpa mendampingimu,kang?” ucap gadis itu mulai mengutarakan isi hati yang sebenarnya.

“ lengan kananku telah dimakan penyakit. Aku hanya tak mau belas kasihan dari siapapun. Meskipun dulu ayahmu telah membuat janji tentang perjodohan kita, tapi beliau sendiri yang mengingkarinya. Bahkan beliau hendak menikahkanmu dengan pria lain. Itu adalah keputusan ayahmu, aku dapat memahaminya. Kau paham maksudku kan?”  ucap wacik santai sambil menyalakan rokok dengan satu tangannya.

“ apa kang Wajik setuju dengan keputusan ayah ?” ucap gadis itu cemas

“ bukan begitu,meskipun kita telah melewati hari-hari  bersama-sama,  dan juga pernah saling jatuh hati bahkan sampai sekarang. Bukan berarti kita jodoh kan?  Sekarang ayahmu akan menikahkanmu dengan pria lain, mungkin saja dialah jodohmu. Justru akulah yang harusnya tahu diri, menjadikanmu sebagai kekasih tanpa sebuah ikatan yang direstui oleh orang tua adalah sebuah kesalahan. Tapi meskipun begitu setidaknya aku senang bisa menjagamu dari orang-orang yang bukan muhrimmu sampai sejauh ini, hingga akhirnya takdir mempertemukan kalian berdua. Kau tahu ? karena aku sudah menganggapmu seperti adik kandungku sendiri“ ucapnya

Wacik yang biasanya diam tanpa kata-kata , tiba-tiba menjadi banyak bicara, tentu saja untuk menjelaskan mana yang baik dan mana yang tidak, hal itu sudah menjadi wataknya sejak dulu. Ia  bicara jika diperlukan dan diam jika tak ada yang perlu dibicarakan

 “ sikap bijak inilah yang membuatku tergila-gila padamu,kang. Meskipun kau hanya pelukis senja yang minim akan materi tapi hatimu kaya akan kelapangan dada dan keikhlasan, andai saja... “ gadis itu tak sanggup lagi untuk melanjutkan ucapannya.

“ winda ayo pulang !”seru pria berumur sekitar 40 tahun yang tiba-tiba datang dengan suara lantang nan tegas, seolah tak mengizinkan winda anaknya dekat-dekat dengan pemuda buntung.

“maaf akang, aku harus segera pulang. Semoga lain kali kita bisa  bertemu lagi ditempat ini “ucapnya . ia pun pergi meninggalkan wacik , berlalu tanpa bayangan samar yang tak lagi bisa dilihat dari kejauhan.

Semenjak pembicaraan waktu itu. wacik tak pernah lagi bertemu dengan winda, serasa yang kemarin itu adalah pertemuan terakhir mereka. Sekarang ia harus melukis sendirian tanpa gadis manis yang selalu melihat tangan kirinya dengan lihai menggoreskan warna dikanvas putih bersih.

Hingga suatu hari seorang anak kecil datang menghampirinya sambil memberikan secarik kertas merah yang terlipat rapi dan berbungkus plastik bening yang indah. ia membukanya berlahan agar isinya tak ikut robek. Lalu membacanya didalam hati. Sebuah kertas undangan dari sang kekasih yang 3 hari lagi akan melangsungkan pernikahannya dengan pria pilihan orang tuanya. Pria dengan bibit bobot yang  sudah jelas.

Dibalik kertas undangan itu ada tulisan tangan winda, sebuah pesan untuk sang kekasih

“ untuk akang wacik yang tercinta, maafkan aku. Aku tak bisa memberikan undangan ini langsung kepadamu, aku tahu meskipun kau hanya pelukis senja, tapi aku tak pernah menganggapmu sebelah mata. Aku sudah bersabar menunggumu tapi takdir berkata lain.Aku sudah mengenalmu lama,  dan kau sangat baik kepadaku. kau itu layaknya langit senja, pendiam, kalem tapi menyenangkan dan juga mendamaikan jiwa. Semoga akang selalu sehat dan dalam ridhoNya. Sekian.. “

Pesan singkat itu membuat wacik mati rasa, walaupun bibirnya tersenyum tapi sorot matanya kosong, seakan tak bisa membohongi keadaan hatinya. Dia telah patah hati, tapi pikirannya tak mau mengakuinya. Dia lalu diam tanpa kata-kata, matanya memandang kosong langit senja.

“ maafkan aku, aku hanya pelukis senja yang minim akan materi aku tak cukup berani untuk bertemu dengan orang tuamu dan melamarmu agar kita bisa hidup bersama-sama “ ucapnya pelan sambil berlalu meninggalkan lukisannya ditengah pantai sendirian.

Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar